Selamat Datang dalam komunitas Kami....

Minggu, 24 Oktober 2010

PEJABAT, YANG SEHARUSNYA

(Buletin Aswaja vol 1: Okt. 2010)
Dalam masa kekhalifahan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thali r.a., Aqil, saudaranya, datang bertamu ke rumahnya di Kota Kufah. Ali memberitahu putra kesayangannya, Hassan, agar menghadiahkan beberapa pakaian untuk pamannya. Hasan menghadiahkan sepotong baju dan sehelai syal miliknya.
Malam pun menjelang dan udara sangatlah panas, Ali dan Aqil duduk bersama-sama di atas bubungan Dar Al Imarah. Tiba saat makan malam, Aqil yang menganggap dirinya sebagai tamu Khalifah, membayangkan hidangan yang bermacam-macam. Tapi apa yang dilihatnya sangatlah berbeda. Hidangan malam itu amat sangat sederhana dan bersahaja. “Hanya inikah jamuan makan malam kita?” tanya Aqil penuh heran.
“Bukankah ini nikmat Allah?” jawab Ali. “Aku sungguh bersyukur kepada-Nya atas nikmat ini,” tambahnya.
“Kalau demikian, harus segera kukatakan maksud kedatanganku, kemudian aku akan pulang. Aku mempunyai hutang. Tolong kau selesaikan hutangku secepat mungkin, dan bantulah saudaramu ini seberapa banyak yang kau inginkan agar aku bisa pulang ke rumah dengan beban yang ringan, “ kata Aqil lagi.
“Berapa hutangmu?” tanya Ali.
“Seratus ribu dirham.”
“Seratus ribu dirham? Oh.... sungguh banyak. Saudaraku, sayang aku tidak mempunyai uang sebanyak itu, agar aku dapat membantumu membayar hutangmu; tapi sabarlah sampai tanggal pembayaran gaji nanti. Kelak akan kusisihkan sebagian dari gajiku untukmu, atas dasar muwashat dan persaudaraan. Kalau bukan karena tanggungan keluarga, maka akan kuberikan semua gajiku dan tidak akan kusisihkan sedikitpun untukku.”
“Apa?” sahut Aqil heran. “Bersabar sampai tanggal pembayaran gaji” Bukankah Baitul-Mal (mungkin kalau saat ini APBD) dan kekayaan negara ada di tanganmu? Kenapa kau perlu memintaku bersabar dab menunggumu mengambil gajimu? Seberapa banyak yang kau inginkan kau bisa ambil dari Baitul Mal; lalu kenapa kau harus menundanya sampai tanggal pembayaran gaji? Memangnya berapa sih bagianmu dari Baitul mal? Seandainya semua gajimu kau berikan kepadaku, apakah itu akan cukup melunasi hutangku?”
“Sungguh tak kusangka kau berpendapat demikian. Apa hubungannya antara aku dan kau dengan ada dan tidaknya kas negara? Aku dan engkau sama seperti kaum Muslimin yang lain. Memang kau adalah saudaraku dan aku harus membantumu sebatas yang memungkinkan; namun itu harus dari hartaku, bukan dari harta Baitul Mal milik kaum muslimin,” Imam Ali menjelaskan.
Agak lama mereka berbicara, dan Aqil dengan berbagai cara mendesak Ali agar bisa memberinya uang secukupnya dari Baitul Mal agar dapat melunasi hutangnya.
Dari atas bubungan Dar Al-Imarah (atas rumah dinas) tersebut, tampak pasar Kufah dan peti-peti uang para pedagang pasar. Ketika Aqil terus mendesak, Ali berkata kepadanya: “Kalau kau masih saja mendesak dan tidak menerima ucapanku, aku ada usul untukmu. Jika kau mempraktekkannya, niscaya kau bisa membayar seluruh hutangmu; bahkan kau akan memiliki lebih dari itu.”
“Bagaimana caranya?” tanya Aqil.
“Di pasar ini banyak peti-peti uang. Hari sudah gelap dan pasar juga sudah sepi. Pergilah ke bawah dan pecahkan peti-peti itu, lalu ambillah sebanyak mungkin uang yang kau inginkan.”
“Milik siapa peti-peti itu?”
“Milik para pedagang pasar ini. Dan disitulah mereka menyimpan uangnya.”
“Aneh,” kata Aqil. “Kau mengusulkan agar aku pecahkan peti-peti kas para pedagang lalu kucuri harta mereka? Bukankah mereka telah bekerja keras untuk mendapatkan uang itu dan bertawakal kepada Allah?”
“Kalau begitu,” sahut Ali, “Kenapa kau usulkan kepadaku agar membuka dan mengambil kas negara (Baitul Mal) milik kaum Muslimin untukmu? Siapa pemilik sebenarnya Baitul Mal ini? Atau kau ingin mendengar usul lain?”
“Bagaimana?” Tanya Aqil.
“Kalau kau bersedia, mari kita hunuskan pedang kita dan pergi ke kota tua, Hirah. Disanalah saudagar-saudagar besar dan kaya raya tinggal. Tengah malam, kita berdua pergi ke sana, merampok dan membunuh satu diantara mereka.”
“Sudaraku! Aku datang bukan untuk mencuri sehingga kau harus berbicara hal-hal yang demikian. Kukatakan bahwa kau bisa memberikan uang dari kas Baitul Mal dan kekayaan negara, agar dapat kulunasi hutang-hutangku.”
“Sebenarnya kalau kita curi harta seseorang, itu adalah lebih baik dari mencuri harta ratusan bahkan ribuan kaum muslimin. Bagaimana sih logikamu? Mengambil harta seseorang dengan paksa adalah mencuri, tapi mengambil harta umum bukan mencuri namanya? Kau kira “mencuri” hanya terbatas pada merampas harta orang lain dan menyerangnya saja? Jenis mencuri yang paling keji adalah apa yang kau usulkan kepadaku sekarang ini!”
Akhirnya, semoga baik pejabat maupun rakyat berupaya untuk introspeksi diri dalam menjalani hidup ini. Bila anda mau hidup dalam kehidupan yang sesungguhnya, hiduplah dalam terang. Jelas arah yang anda ikuti. Dan jelas norma yang dipegangi. Ini tidak mudah. Tetapi kita ingin bersama ‘selamat sampai tujuan’. Untuk selamat sampai di tujuan ini, kita mesti setia sepanjang perjalanan. Pejabat setia pada amanah yang dipikulnya, komitmen memenuhi janji-janjinya dan rakyat setia mengingatkan pejabat, bila mereka korup dan mengingkari apa yang telah dijanjikan. Bila kedua belah pihak mampu bersikap demikian, maka Kab. Mojokerto yang tercinta ini akan menjadi lebih baik untuk lima (5) tahun mendatang. Wallahu A’lam.