Selamat Datang dalam komunitas Kami....

Kamis, 25 Maret 2010

NU Harus Bisa Jadi 'Rumah' Pemberdayaan Umat

Rabu, 3 Maret 2010.
Surabaya, NU Online.

Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Surabaya, Prof Nur Syam menaruh kepedulian besar terhadap Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-32 yang akan berlangsung di Makasar pada 22-27 Maret mendatang. Menurutnya, perhelatan akbar warga nahdliyin itu harus bisa mengembalikan NU sebagai 'rumah' pemberdayaan umat. Karena itu, pemimpin NU ke depan dituntut melakukan gerakan organisasi yang mengarah kepada pemenuhan kebutuhan warga NU secara menyeluruh.

Menurut Nur Syam, selama ini arah gerakan pimpinan NU cenderung elitis. hal itu bisa disimak dari perjalanan NU sejak era kepemimpinan KH Idham Cholid. "Mobilitas politik sudah dilakukan oleh KH Idham Cholid, sehingga beliau disebut sebagai guru politik orang-orang NU. Mobilitas intelektual sudah dilakukan oleh Gus Dur sehingga beliau disebut sebagai penarik gerbong neo-modernisasi NU. Dan KH Hasyim Muzadi juga tidak kalah hebat sebagai penarik gerbong internasionalisasi NU melalui pesan Islam rahmatan lil alamin," paparnya kepada wartawan di Surabaya, kemarin.

"Betapa sayangnya kalau aset ekonomi orang NU malah dijadikan sebagai sumber daya ekonomi oleh organisasi yang lain. Sementara NU sendiri tidak melakukan gerakan yang mengarah kepada pemberdayaan umat melalui, misalnya, gerakan pengumpulan dana untuk pemberdayaan masyarakat," tutur Nur Syam.

Gus Dur dan Hasyim Muzadi, lanjut dia, sebenarnya juga pernah mencoba membangun jaringan pengembangan aset ekonomi NU. Misalnya, dalam kerjasamanya dengan Bank Summa, yaitu untuk mendirikan Bank Nusumma. Namun, implementasinya masih belum memenuhi harapan. Demikian pula program kerja sama dengan perusahaan-perusahaan juga tertatih-tatih dalam implementasi di lapangan.

"Memanfaatkan sumber daya ekonomi eksternal memang bagus. Akan tetapi, pemanfaatan sumber daya ekonomi internal NU juga sangat diperlukan. Bukankah masih banyak sumber daya ekonomi NU yang masih perlu direaktualisasikan?," ucapnya.

Menurut Nur Syam, NU harus tetap memiliki kiprah dalam program seperti ini. Jangan sampai kemudian pemanfaatan aset ekonomi tersebut selalu berada dalam kawasan segmented sehingga gerakan NU dalam pemberdayaan hampir tidak pernah terdengar.

NU sudah memiliki semuanya. Modalitas ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Modalitas sosial dan budaya sudah komplementer dengan kehidupan umat. Modalitas politik juga sudah menjadi sesuatu yang tidak terpisahkan dalam kancah perpolitikan nasional.

"Demikian pula modalitas jaringan sosial internasional yang telah terbangun selama ini. Itu sebabnya, ke depan, yang sangat penting adalah pemanfaatan modalitas ekonomi untuk pemberdayaan umat," tandasnya seperti dilansir Republika Online. (ful)

http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=22290

Perayaan Maulid Nabi dan Kontroversi Ma'na Bid’ah

Pernyataan bahwa perayaan Maulid Nabi adalah amalan bid'ah adalah pernyataan yang sangat TIDAK TEPAT, karena bid'ah adalah sesuatu yang baru atau diada-adakan dalam Islam yang tidak ada landasan sama sekali dari Al-Qur'an dan as-Sunah. Adapun maulid walaupun suatu yang baru di dalam Islam akan tetapi memiliki landasan dari Al-Qur'an dan as-Sunah.

Pada maulid Nabi di dalamya banyak sekali nilai ketaatan, seperti: sikap syukur, membaca dan mendengarkan bacaan Al-Quran, bersodaqoh, mendengarkan mauidhoh hasanah atau menuntut ilmu, mendengarkan kembali sejarah dan keteladanan Nabi, dan membaca sholawat yang kesemuanya telah dimaklumi bersama bahwa hal tersebut sangat dianjurkan oleh agama dan ada dalilnya di dalam Al-Qur'an dan as-Sunah.

Pengkhususan Waktu
--------------------------

Ada yang menyatakan bahwa menjadikan maulid dikatakan bid'ah adalah adanya pengkhususan (takhsis) dalam pelakanaan di dalam waktu tertentu, yaitu bulan Rabiul Awal yang hal itu tidak dikhususkan oleh syariat. Pernyataan ini sebenarnaya perlu di tinjau kembali, karena takhsis yang dilarang di dalam Islam ialah takhsis dengan cara meyakini atau menetapkan hukum suatu amal bahwa amal tersebut tidak boleh diamalkan kecuali hari-hari khusus dan pengkhususan tersebut tidak ada landasan dari syar'i sendiri(Dr Alawy bin Shihab, Intabih Dinuka fi Khotir: hal.27).

Hal ini berbeda dengan penempatan waktu perayaan maulid Nabi pada bulan Rabiul Awal, karena orang yang melaksanakan maulid Nabi sama sekali tidak meyakini, apalagi menetapkan hukum bahwa maulid Nabi tidak boleh dilakukan kecuali bulan Robiul Awal, maulid Nabi bisa diadakan kapan saja, dengan bentuk acara yang berbeda selama ada nilai ketaatan dan tidak bercampur dengan maksiat.

Pengkhususan waktu maulid disini bukan kategori takhsis yang di larang syar'i tersebut, akan tetapi masuk kategori tartib (penertiban).

Pengkhususan waktu tertentu dalam beramal sholihah adalah diperbolehkan, Nabi Muhammad sendiri mengkhusukan hari tertentu untuk beribadah dan berziaroh ke masjid kuba, seperti diriwatkan Ibnu Umar bahwa Nabi Muhammad mendatangi masjid Kuba setiap hari Sabtu dengan jalan kaki atau dengan kendaraan dan sholat sholat dua rekaat di sana (HR Bukhari dan Muslim). Ibnu Hajar mengomentari hadis ini mengatakan: "Bahwa hadis ini disertai banyaknya riwayatnya menunjukan diperbolehkan mengkhususan sebagian hari-hari tertentu dengan amal-amal salihah dan dilakukan terus-menerus".(Fathul Bari 3: hal. 84)

Imam Nawawi juga berkata senada di dalam kitab Syarah Sahih Muslim. Para sahabat Anshor juga menghususkan waktu tertentu untuk berkumpul untuk bersama-sama mengingat nikmat Allah,( yaitu datangnya Nabi SAW) pada hari Jumat atau mereka menyebutnya Yaumul 'Urubah dan direstui Nabi.

Jadi dapat difahami, bahwa pengkhususan dalam jadwal Maulid, Isro' Mi'roj dan yang lainya hanyalah untuk penertiban acara-acara dengan memanfaatkan momen yang sesui, tanpa ada keyakinan apapun, hal ini seperti halnya penertiban atau pengkhususan waktu sekolah, penghususan kelas dan tingkatan sekolah yang kesemuanya tidak pernah dikhususkan oleh syariat, tapi hal ini diperbolehkan untuk ketertiban, dan umumnya tabiat manusia apabila kegiatan tidak terjadwal maka kegiatan tersebut akan mudah diremehkan dan akhirnya dilupakan atau ditinggalkan.

Acara maulid di luar bulan Rabiul Awal sebenarnya telah ada dari dahulu, seperti acara pembacaan kitab Dibagh wal Barjanji atau kitab-kitab yang berisi sholawat-sholawat yang lain yang diadakan satu minggu sekali di desa-desa dan pesantren, hal itu sebenarnya adalah kategori maulid, walaupun di Indonesia masyarakat tidak menyebutnya dengan maulid, dan jika kita berkeliling di negara-negara Islam maka kita akan menemukan bentuk acara dan waktu yang berbeda-beda dalam acara maulid Nabi, karena ekpresi syukur tidak hanya dalam satu waktu tapi harus terus menerus dan dapat berganti-ganti cara, selama ada nilai ketaatan dan tidak dengan jalan maksiat.

Semisal di Yaman, maulid diadakan setiap malam jumat yang berisi bacaan sholawat-sholawat Nabi dan ceramah agama dari para ulama untuk selalu meneladani Nabi. Penjadwalan maulid di bulan Rabiul Awal hanyalah murni budaya manusia, tidak ada kaitanya dengan syariat dan barang siapa yang meyakini bahwa acara maulid tidak boleh diadakan oleh syariat selain bulan Rabiul Awal maka kami sepakat keyakinan ini adalah bid'ah dholalah.

Tak Pernah Dilakukan Zaman Nabi dan Sohabat
------------------------------------------------------

Di antara orang yang mengatakan maulid adalah bid'ah adalah karena acara maulid tidak pernah ada di zaman Nabi, sahabat atau kurun salaf. Pendapat ini muncul dari orang yang tidak faham bagaimana cara mengeluarkan hukum (istimbat) dari Al-Quran dan as-Sunah. Sesuatu yang tidak dilakukan Nabi atau Sahabat dalam term ulama usul fiqih disebut at-tark dan tidak ada keterangan apakah hal tersebut diperintah atau dilarang maka menurut ulama ushul fiqih hal tersebut tidak bisa dijadikan dalil, baik untuk melarang atau mewajibkan.

Sebagaimana diketahui pengertian as-Sunah adalah perkatakaan, perbuatan dan persetujuan beliau. Adapun at-tark tidak masuk di dalamnya. Sesuatu yang ditinggalkan Nabi atau sohabat mempunyai banyak kemungkinan, sehingga tidak bisa langsung diputuskan hal itu adalah haram atau wajib. Disini akan saya sebutkan alasan-alasan kenapa Nabi meninggalkan sesuatu:

1. Nabi meninggalkan sesuatu karena hal tersebut sudah masuk di dalam ayat atau hadis yang maknanya umum, seperti sudah masuk dalam makna ayat: "Dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.''(QS Al-Haj: 77). Kebajikan maknanya adalah umum dan Nabi tidak menjelaskan semua secara rinci.

2. Nabi meninggalkan sesutu karena takut jika hal itu beliau lakukan akan dikira umatnya bahwa hal itu adalah wajib dan akan memberatkan umatnya, seperti Nabi meninggalkan sholat tarawih berjamaah bersama sahabat karena khawatir akan dikira sholat terawih adalah wajib.

3. Nabi meninggalkan sesuatu karena takut akan merubah perasaan sahabat, seperti apa yang beliau katakan pada siti Aisyah: "Seaindainya bukan karena kaummu baru masuk Islam sungguh akan aku robohkan Ka'bah dan kemudian saya bangun kembali dengan asas Ibrahim as. Sungguh Quraiys telah membuat bangunan ka'bah menjadi pendek." (HR. Bukhori dan Muslim) Nabi meninggalkan untuk merekontrusi ka'bah karena menjaga hati mualaf ahli Mekah agar tidak terganggu.

4. Nabi meninggalkan sesuatu karena telah menjadi adatnya, seperti di dalam hadis: Nabi disuguhi biawak panggang kemudian Nabi mengulurkan tangannya untuk memakannya, maka ada yang berkata: "itu biawak!", maka Nabi menarik tangannya kembali, dan beliau ditanya: "apakah biawak itu haram? Nabi menjawab: "Tidak, saya belum pernah menemukannya di bumi kaumku, saya merasa jijik!" (QS. Bukhori dan Muslim) hadis ini menunjukan bahwa apa yang ditinggalkan Nabi setelah sebelumnya beliau terima hal itu tidak berarti hal itu adalah haram atau dilarang.

5. Nabi atau sahabat meninggalkan sesuatu karena melakukan yang lebih afdhol. Dan adanya yang lebih utama tidak menunjukan yang diutamai (mafdhul) adalah haram.dan masih banyak kemungkinan-kemungkinan yang lain (untuk lebih luas lih. Syekh Abdullah al Ghomariy. Husnu Tafahum wad Dark limasalatit tark)

Dan Nabi bersabda:" Apa yang dihalalakan Allah di dalam kitab-Nya maka itu adalah halal, dan apa yang diharamkan adalah haram dan apa yang didiamkan maka itu adalah ampunan maka terimalah dari Allah ampunan-Nya dan Allah tidak pernah melupakan sesuatu, kemudian Nabi membaca:" dan tidaklah Tuhanmu lupa".(HR. Abu Dawud, Bazar dll.) dan Nabi juga bersabda: "Sesungguhnya Allah menetapkan kewajiban maka jangan enkau sia-siakan dan menetapkan batasan-batasan maka jangan kau melewatinya dan mengharamkan sesuatu maka jangan kau melanggarnya, dan dia mendiamkan sesuatu karena untuk menjadi rahmat bagi kamu tanpa melupakannya maka janganlah membahasnya".(HR.Daruqutnhi)

Dan Allah berfirman:"Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya."(QS.Al Hasr:7) dan Allah tidak berfirman dan apa yang ditinggalkannya maka tinggalkanlah.

Maka dapat disimpulkan bahwa "at-Tark" tidak memberi faidah hukum haram, dan alasan pengharaman maulid dengan alasan karena tidak dilakukan Nabi dan sahabat sama dengan berdalil dengan sesuatu yang tidak bisa dijadikan dalil!

Imam Suyuti menjawab peryataan orang yang mengatakan: "Saya tidak tahu bahwa maulid ada asalnya di Kitab dan Sunah" dengan jawaban: "Tidak mengetahui dalil bukan berarti dalil itu tidak ada", peryataannya Imam Suyutiy ini didasarkan karena beliau sendiri dan Ibnu Hajar al-Asqolaniy telah mampu mengeluarkan dalil-dalil maulid dari as-Sunah. (Syekh Ali Jum'ah. Al-Bayanul Qowim, hal.28)

----------------------------------------------------------------------------

Penulis:
Zarnuzi Ghufron
Ketua LMI-PCI-NU Yaman dan sekarang sedang belajar di Fakultas Syariah wal Qonun, Univ. Al-Ahgoff, Hadramaut, Yaman

http://www.nu.or.id/page.php

Kiai Wahab Melobi Van der Plas

KILAS MUKTAMAR
Jumat, 5 Maret 2010
NU Online

Menyelenggarakan Muktamar di masa penjajahan tentu tidak semudah di masa sekarang. Untuk penentuan tempat saja tidak cukup izin meminta kepada pemerintah setempat. Bahkan sering pemerintah setempat melarang daerahnya dijadikan tempat Muktamar atau kegiatan keagamaan yang terbuka.

Menjelang Muktamar NU ke 4 di Semarang tahun 1929, ini untuk pertama kalinya Muktamar diselenggarakan di luar kota kelahiran NU Surabaya. Karena itu maklum kalau perizinan sulit diperoleh dari pemerintah kolonial. Apalagi saat itu SI merah sedang bergolak di tempat itu.

Menghadapi persoalan ini Kiai Wahab Chasbullah akhirnya pergi ke Batavia untuk menemui Adviseur voor Inlandsche Zaken (Menteri Urusan Pribumi) yang dijabat oleh orientalis terkemuka Van der Plas. Ia tinggal di Jalan Cikini No 12 Menteng di rumahnaya itulah ia menerima Kiai Wahab. Komunikasi berlangsung dalam bahasa Arab, maklumlah pengganti Snouck Horgronye ini juga pernah menduduki posisi Snouck sebagai wakil Belanda di Jeddah.

Kiai Wahab meminta izin dilaksanakannya Muktamar di Semarang dan diumumkannya hasil Muktamar di Masjid Jami' kota itu. Kiai Wahab beralasan bahwa yang akan disampaikan itu bukan persoalan politik yang mengganggu ketenteraman umum, seperti yang dikhawatirkan pemerintah, tetapi murni masalah diniyah ijtimaiyah.

Selain itu ada beberapa persoalan yang dibawa antara lain soal pembatasan gerakan NU di beberapa tempat, seperti di Mojokerto, dan Pekalongan yang dibatasi hanya 50 orang, sementara anggota NU di kota-kota tersebut lebih dari 2500 orang. Selain itu, Kiai Wahab juga usul agar dalam menunjuk hoof-penghulu benar-benar memilih orang yang allamah yakni yang paham betul dalam ilmu keislaman.

Berkat kelihaian Kiai Wahab dalam melobi akhirnya pengumuman hasil Muktamar diperbolehkan untuk disampaikan di Masjid Jami’ Semarang, demikian juga pengajian diperbolehkan dilaksanakan di beberapa masjid kota besar di Jawa.

Sejak saat itu NU berkembang semakin pesat melalui pesantren dan masjid-masjid besar yang ada di setiap kota. Tulisan ini disarikan dari Oetoesan Nahdlatul Oelama, 1 Rodjab 1347 H, tahun I. (Abdul Mun’im DZ)

http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=22308

Mengupayakan Islam yang Substantif

Jumat, 5 Maret 2010
Bekasi, NU Online

Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prof Dr HM Bambang Pranowo mengatakan, upaya penegakan Islam substantif yang telah diperjuangkan oleh para pendiri bangsa dan diteruskan oleh generasi selanjutnya. Para sesepuh berharap Islam tak hanya simbol.

Demikian disampaikanya dalam acara tasyakuran Ketua PBNU H Abdul Aziz yang memeroleh gelar doktor dengan disertasi “Peran Islam dalam Pembentukan Negara: Studi tentang proses pembentukan Negara di Madinah pada masa Muhammad SAW dan Kholifah Empat”. Tasyakuran digelar seserhana di rumah Abdul Aziz di Kranji, Bekasi, Kamis (4/3) malam.

Bambang Pranowo mengatakan, para pendahulu bangsa adalah bersikap nasionalis namun tetap juga memperhatikan simbol keislamanya. Bung Karno yang saat itu menjadi Presiden RI menyampaikan gagasan dan pemikiranya kepada almarhum Wahid Hasyim selaku menteri agama saat itu untuk mengimbangi banyaknya gereja yang ada di Ibukota. Maka dibangun masjid Istiqlal yang termegah di Asia tenggara dan menjadi monumental dan simbolis.

Namun begitu, kedua tokoh nasional itu tak lantas mendukung pembentukan negara Islam secara formal, malahan mereka meneguhkan tegaknya Negara Kesatuan Republ;ik Indonesia (NKRI).

Prof Bambang Pranowo dalam acara tasyakuran itu sempat pula melemparkan statemen tokoh NU KH Idham Kholid terkait soal Islam substantif dan simbolis yang cukup terkenal yaitu: “Mana yang lebih baik antara minyak samin cap babi daripada minyak babi cap onta?” ”Maka lebih penting mana Islam substantif daripada Islam simbolis?” ujarnya.

Acara tasyakuran itu diawali dengan pembacaan tahlil. Dihadiri oleh beberapa aktifis PP Lakpesdam NU, pejabat KPU, beberapa sahabat. Ketua Umum PBNU DR KH Hasyim Muzadi juga hadir. Pengamat politik Fachri Ali juga hadir dan menyampaikan komentarnya atas disertasi Abdul Aziz. (sin)

http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=22321